Thursday, December 1, 2016

Mindset dan Masa Depan

Kemarin-kemarin saya berdiskusi dengan salah satu teman tentang makna ibadah. Pembahasan itu berawal dari pertanyaan kritis yang sudah cukup lama saya pendam, tentang apa manfaat ibadah? Mengapa saya sudah shalat dan melakukan ibadah tambahan lain, tetapi terkadang ada saja hal yang bikin saya nggak bahagia?

Saya juga suka bertanya tentang kaitan antara nasib, takdir, dan ibadah seseorang. Apakah yang rajin ibadah sudah tentu takdirnya akan lebih baik dari orang yang tidak lebih rajin beribadah? Pertanyaan itu saya sadari tidak bisa dijawab hanya dengan ya dan tidak. Karena makna ibadah itu luas. Kata 'lebih baik' pun bermakna persepsi. 

Jadi sebenarnya, buat apa kita beribadah? Dalam pencarian makna yang saya temukan sendiri lewat kontemplasi dan input dari orang-orang sekitar, pemahaman saya tentang ibadah baik itu secara vertikal maupun horizontal adalah sebagai cara untuk berterimakasih karena saya sudah diberi banyak hal tanpa saya minta. Ibadah vertikal saya kerucutkan sebagai cara bahwa saya orang yang tahu diri, saya tahu posisi saya sebagai hamba. Saya beribadah sebagai usaha saya dalam menyeimbangkan konsep take and give. 

Tapi pernah ada momen dimana saya beribadah sebagaimana biasanya, tapi tiba-tiba dihadapkan dengan hal yang membuat saya terpuruk. Mengapa saya bisa seterpuruk itu? Mengapa saya sangat tidak bahagia dengan apa yang menimpa saya? Apakah usaha saya dalam beribadah itu tidak 'bekerja' untuk kehidupan saya? Atau apakah itu yang namanya takdir yang harus diterima? Tapi kok nggak enak banget...

Tibalah pembahasan dari teman saya yang saya anggap itu membukakan kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya.

Dia bilang, intinya, ini adalah masalah mindset. Sesederhana itu, tapi proses untuk mendapatkan mindset yang tepat dalam memandang sesuatu itu yang butuh proses panjang. Dari sana kita tidak heran ada quotes yang bilang bahwa carilah ilmu sampai liang lahat. Sedangkan ilmu salah satunya adalah untuk merubah mindset dan cara berpikir seseorang. Dengan ilmu, mindset kita terus di-upgrade.

Dia bilang, mindset ini tentang penetapan tujuan hidup, tentang merancang masa depan yang benar-benar masa depan. Bukan 10 atau 20 tahun ke depan, tetapi masa depan setelah kita mati. Kita bisa melihat betapa tenangnya orang-orang yang mengerti dan benar-benar paham tentang masa depan. Harta, tahta, prestasi, dan apapun yang ada di dunia adalah perhiasan dunia, titipan yang sangat sebentar. Mereka tidak akan khawatir dan tidak akan berat hati saat kehilangan titipan-titipan itu. 

Orang yang memikirkan masa depan akan fokus terhadap apa yang akan mereka bawa ketika dia menemui Tuhan. Mereka tidak akan khawatir dengan nasibnya di dunia, apakah akan kaya, miskin, akan menemui tangis atau tawa. Karena mereka paham bahwa dalam keadaan apapun semua memiliki kesempatan yang sama untuk mencari bekal masa depan. 

Saya jadi teringat quotes tokoh Sunda, Mang Ibing yang bilang, "Tong ngeluh keur ripuh, tong ngaraja keur bagja." artinya kurang lebih, "Jangan mengeluh ketika sedang susah, jangan sombong ketika sedang lapang."

Dalam keadaan apapun, ketika seseorang berpikir hanya mencari ridho Tuhannya, maka dia akan menerima dengan alasan semoga Tuhan ridho dengan rasa penerimaannya tersebut.

Begitupun dalam melakukan sesuatu di dunia ini, nikah contohnya (ehm!), tujuannya memang harus dikaitkan dengan masa depan. Masa depan yang benar-benar masa depan. Jika nikah tujuannya kaya, terus setelah menikah ternyata nggak kaya-kaya, biasanya yang kayak gitu akan berakhir dengan keluhan. Begitu juga yang tujuannya ingin punya anak, setelah nikah ternyata susah punya anak, keluhan biasanya akan terlontar secara sadar atau nggak sadar. Begitu pun kalau tujuan menikah adalah untuk mendapatkan kesenangan, dalam suatu momen saja merasa tidak senang, makin samarlah tujuan pernikahannya. Bukan tidak mungkin karena tujuan awal menikah pengen dapat kesenangan, terus setelah pernikahan dijalani ternyata banyak hal yang bikin nggak senang, perpisahan jadi jalan.. Semoga pembaca terhindar dari hal tersebut.

Sejauh ini, saya menyimpulkan bahwa tujuan kita untuk melakukan sesuatu agar mendapat ridho Tuhan adalah benar. Caranya kita harus 'menyimpan' Tuhan di hati kita di atas segalanya. Karena dengan demikian, apapun yang terjadi di tengah jalan, kehilangan apapun, tidak akan memberatkan, tidak akan membuat sedih berlarut-larut, apalagi sampai stres. Jika kita patah hati dan sedih karena sesuatu, itu adalah teguran lembut dari Tuhan untuk mengingatkan jangan sampai ada hal lain di hati kita yang mendominasi, selain rasa cinta kepada Tuhan. Memang saya akui, melibatkan Tuhan dalam keseharian bisa menentramkan.  

Kesimpulan dari percakapan saya dan teman waktu itu berupa upaya untuk saling mengingatkan bahwa kita sebaiknya fokus untuk mendapatkan masa depan terbaik. Hal yang terjadi yang tidak sesuai dengan keinginan, semoga membuat kami menerima dan ikhlas. Hal yang terjadi yang sesuai keinginan semoga membuat kami lebih banyak bersyukur dan tidak membanggakan diri.

Untuk yang memiliki keinginan yang baik, jangan pernah takut segera melaksanakannya. Tuhan akan mengurus kita 100 persen.

4 comments:

  1. Uuuhhhhhhh kereennnn!!!! 😙😙😙

    Semoga kita selalu bsa jd pribadi yg haus ilmu dan jd lbh baik dg ilmu. Amiin

    ReplyDelete
  2. Apakah alasan utama Allah mewajibkan kita beribadah?
    Sejak kecil qt di ajarkan untuk beribadah supaya mendapatkan pahala, banyak pahala masuk surga.
    Klo G ibadah qt berdosa masuk neraka. Klo gda neraka n surga apa qt msh beribadah? Untuk apa?
    Toh klo qt ibadah Allah gk untung
    Klo seluruh muslim di dunia brenti ibadah Allah gbkln rugi..
    Lalu Ibadah itu bwt siapa? Buat apa?? Lets find out XD

    ReplyDelete