Wednesday, December 28, 2016

'Ngawangkong' Bersama Bu Netty

Hari Selasa (27/12) pagi, saya membaca ada informasi di grup Whats App Ikatan Mojang Jajaka (Imoka) Kota Tasikmalaya bahwa Ibu Netty Heryawan, istri dari Gubernur Jawa Barat, Bapak Ahmad Heryawan, ingin menggelar pertemuan bersama para anggota Imoka di Koka Cafe, Perum Bumi Resik Panglayungan (BRP) yang merupakan tempat usaha salah satu putranya.

Momen ngobrol bersama perempuan nomor 1 di Jawa Barat secara live tersebut bukan yang pertama kalinya bagi saya. Desember 2011 lalu, saya pun sempat mendengarkan 'studium generale' dari beliau ketika sedang berkunjung ke Tasikmalaya. Waktu itu, status saya masih sebagai wartawan di Koran Radar Tasikmalaya. Terkesan akan gaya bertuturnya yang santai namun berisi dari pertemuan sebelumnya, membuat saya mau meluangkan waktu untuk turut menjadi perwakilan Imoka dalam menghadiri undangan tersebut. 

Saya sebut acara 'ngawangkong' bersama Bu Netty sebagai studium generale karena memang ngobrol bersama beliau itu seperti kuliah umum yang sangat membuka wawasan. Namun pada momen kali ini, saya bisa menyimpulkan bahwa pembahasan yang dititikberatkan oleh Bu Netty ada kaitannya dengan peran beliau sebagai ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat.



Begitu Bu Netty turun dari mobil Alphard warna hitam, beliau langsung disambut oleh kami, anggota Ikatan Mojang Jajaka (Imoka) Kota Tasikmalaya. Pertemuan ini bisa dibilang pertemuan nonformal. Begitu memasuki area kafe, Bu Netty memilih untuk duduk di luar yang berkonsep semi-outdoor, kemudian diikuti para anggota Imoka dan awak media. 

Pembahasan pertama yang dibicarakannya adalah tentang ibunya yang pernah tinggal di Tasikmalaya dan baru melakukan napak tilas. Bu Netty menjelaskan bahwa mengajak orang tua untuk flashback ke masa lalu itu sekali-kali perlu. Karena dengan begitu, orang tua menjadi lebih bergairah dan ceria jika dibandingkan hanya diam saja di rumah. "Perlu untuk dipertemukan kembali dengan teman sebaya dan teman-teman masa lalunya," ungkap perempuan yang lahir di Pacitan, 15 Oktober 1969 tersebut.



Kemudian pembahasan dilanjutkan tentang keperempuanan. Isu yang satu ini selalu menarik bagi saya. Satu suara dengan tulisan yang pernah saya tulis sebulan lalu: Perempuan, Kunci Kemajuan Bangsa, Bu Netty juga menjelaskan bahwa perempuan punya peran yang sangat signifikan dalam membawa nasib sebuah keluarga, bahkan nasib bangsa.

Seorang perempuan yang berkarakter dan berdaya, terutama dari segi pendidikan dan finansial mampu mencetak generasi yang lebih baik. Berpendidikan berarti berwawasan. Berwawasan berarti banyak tahu. Perempuan yang berpendidikan disertai dengan karakter yang positif maka tentu akan mampu menciptakan generasi yang lebih baik.

Di Indonesia, tidak sedikit perempuan yang terjebak kultur yang membuat mereka seolah menjadi masyarakat kelas dua: pendidikan dan kebebasan yang dibatasi. Misalnya di tanah sunda, perempuan seringkali diproyeksikan untuk hanya berkiprah di kasur, dapur, dan sumur. Dalam hal ini, peran laki-laki diperlukan untuk mendorong dan mendukung perempuan untuk tahu lebih jauh dunia luar dalam artian positif.

Menanggapi pernyataan dari salah satu peserta diskusi malam itu, Bu Netty menanggapi bahwa perempuan memang memiliki fitrah untuk mengurus keluarga, tetapi tidak perlu adanya larangan bagi perempuan untuk melakukan aktualisasi diri selama dia tidak meninggalkan kewajiban yang telah disepakati bersama. Seorang perempuan yang memiliki kiprah di luar rumah juga harus cerdas dalam menentukan skala prioritas, mengetahui mana yang penting, mana yang mendesak. (Untuk pembahasan penting dan mendesak, nanti saya tulis di postingan selanjutnya ya!)

Pembahasan lain yang saya tangkap dari studium generale bersama Bu Netty adalah tentang pernikahan. Bagaimanapun, pernikahan adalah siklus alamiah yang akan dijalani hampir semua manusia di dunia. Namun sayangnya masih banyak warga Indonesia yang memutuskan untuk menikah di usia yang sangat muda dan miskin visi misi. Pernikahan seperti itu sangat rentan dalam menyumbangkan generasi kurang baik untuk negara. 

Mengapa? 



Misal ada seorang perempuan menikah di usia 15 tahun. Secara pendidikan dia 'hanya' tamatan SMP. Siapa yang menikahinya? Sangat jarang ada laki-laki lulusan S1 atau S2 punya hasrat untuk menikahi perempuan yang belum 'matang' secara karakter dan pendidikan. Tentu secara umum, laki-laki yang menikahi gadis tersebut pun adalah laki-laki yang secara pendidikan bisa dibilang kurang. Mungkin yang sama-sama tamatan SMP atau tamatan SMA. 

Begitu perempuan tersebut hamil, mereka mungkin tidak akan memiliki pembahasan tentang cara yang baik dalam mengurus anak, bagaimana pendidikan anaknya kelak, dan hal-hal penting lain yang terlupakan. Kehidupan mereka mengalir tanpa rencana. Sampai suatu hari, di tengah derasnya perubahan dunia, masalah ekonomi seringkali menjadi pemicu kekurangtahanan sebuah rumah tangga yang tanpa rencana. Tidak jarang, pernikahan mereka putus di tengah jalan ketika sang anak sedang sangat perlu bimbingan orang tua. 

Apa yang biasanya terjadi?

Yang ada dalam pikiran perempuan tentu adalah bagaimana caranya mampu melanjutkan hidup dan punya penghasilan. Hanya punya ijazah SMP, mau jadi apa? Skill pun tidak ada. Akhirnya, tidak sedikit dari mereka yang memilih jalan seperti menjual diri atau menjadi TKI. Jika perempuan menjadi TKI, anaknya tentu tidak lagi dia asuh. Syukur jika anaknya diasuh oleh orang dewasa yang bertanggung jawab, nah lalu bagaimana jika anaknya diasuh oleh orang yang tidak bertanggung jawab?

Coba kita bandingkan dengan perempuan yang memiliki wawasan, perempuan yang mau menginvestasikan waktunya untuk belajar dan mendapatkan sebanyak-banyaknya pendidikan sebelum dia memutuskan untuk menikah dan melahirkan generasi selanjutnya...

Pernikahan terlalu dini pasti akan dia hindari. Seperti yang dibahas Bu Netty malam itu, perempuan yang berdaya secara finansial itu lebih memiliki harga diri. Pokoknya masa muda itu harus dipakai untuk mensukseskan diri. Misalnya Nabi Muhammad yang usia 25 tahun sudah berjaya secara finansial dan mampu memberi mahar kepada Siti Khadidjah dengan puluhan unta yang jika dikonversikan dengan rupiah di masa kini senilai dengan miliaran rupiah. Tidak ada larangan untuk menjadi kaya dan berdaya secara finansial.

Lalu bagaimana caranya?

Hauslah akan pendidikan. Dengan demikian, kita akan berwawasan. Dengan berwawasan, kita akan tahu jalan untuk meraih yang diimpikan. 

Tuesday, December 27, 2016

Pagerageung

Pengumuman: saya punya job baru!

Waaaah, apakah itu? Diajak oleh salah satu teman, saya mencoba pengalaman menjadi bagian dari tim sebuah wedding organizer. Job pertama saya adalah di hari pertama tahun 2017 nanti. Inti dari pekerjaan ini bisa dibilang cukup saya kuasai karena mengandalkan ilmu manajemen dan komunikasi. 

Ini foto-foto saya waktu habis meeting bersama keluarga salah satu klien di Pagerageung yang posisinya dekat dengan Suryalaya. Saya suka banget view seperti ini soalnya di Kota sudah jarang.




Foto ini buat kenang-kenangan bahwa di Tasik pernah ada sawah.

Monday, December 26, 2016

Imoka Kota Tasik Goes To Pangandaran

Salah satu alasan saya memiliki personal blog adalah untuk mendokumentasikan kegiatan-kegiatan seru yang dilakukan biar menjadi kenangan di masa depan. Tipikal orang experience seeker seperti saya memang perlu media seperti blog karena saya tidak bisa menyimpan memori hanya di otak saja. 

Dalam postingan kali ini, inti dari tulisan saya hanya ingin bersyukur sebanyak-banyaknya kepada Tuhan yang sudah memberikan saya banyak kebahagiaan, banyak teman-teman yang asik, momen-momen seru, dan memberi saya sebuah pemikiran untuk menjadikan bersyukur sebagai budaya sehari-hari. Minimal diucapkan dan diresapi.



Hari Sabtu, 24 Desember lalu saya dan teman-teman Ikatan Mojang Jajaka (Imoka) Kota Tasikmalaya untuk yang pertama kalinya liburan bersama ke Pantai Pangandaran. Acara yang sudah diwacanakan sejak sebulan lalu ini, berjalan dengan lancar dan penuh dengan tawa.

Biar suatu hari kalau mau flashback momen ini saya nggak lupa, jadi saya mau tulis itinerary yang thankfully berjalan sesuai dengan rencana.

Sabtu siang, kami kumpul di Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Tasikmalaya. Berangkat dengan dua mobil, awalnya kami menduga jalanan akan macet karena sedang musim liburan. Namun ternyata jalanan cukup lengang. Sampai di Pangandaran sekitar pukul 17:30, kami langsung bergerak ke penginapan yang sudah di-booking sebelumnya. 

Setelah beres-beres barang bawaan, kami main gitar dulu, nyanyi-nyanyi dan nge-bully orang-orang yang biasa di-bully. Saya nggak bisa sebutin siapa namanya, soalnya nanti dia baca, terus saya yang balik di-bully. Biarlah kami saja yang tahu.  

Salah satu acara favorit saya adalah waktu kami tukar kado di pinggir pantai. Kehangatannya bukan hanya dari api unggun saja, tetapi juga dari kebersamaan. Waktu itu, saya ngasih kado berupa tempat tissue yang terbuat dari bordir dan didapatkan oleh Angga. Sementara saya sendiri dapat seperangkat alat ala emang-emang gojek yaitu sarung tangan dan masker, dari Ferryan. Lumayan lah, balik modal! :D



Setelah beres momen api unggun, kami balik lagi ke Penginapan terus melakukan agenda selanjutnya yang PALING SERU. Kami main games bernama King Order. Duh, game ini seru banget dan bikin ketawa sampai sakit perut. Nanti deh kalau ada waktu dan ada mood, saya mau nyoba bikin video-nya di YouTube. 

Jam 11.00 PM, kami memutuskan untuk berhenti nge-King Order karena besok rencana mau lihat sunrise. Tapi lihat sunrise akhirnya dibatalkan karena... alasannya ambigu. Pokoknya nggak jadi.

Terus setelah matahari naik, kami siap-siap buat ke pantai. Kami naik perahu untuk ke Pasir Putih dan snorkling! Yang satu ini seru banget meski alat snorkling-nya nggak begitu nyaman dipakai. Oh ya, buat kalian yang mau snorkling di Pantai Pasir Putih Pangandaran sebaiknya hati-hati ketika kaki berpijak. Soalnya karang di sana cukup tajam. Beberapa teman saya waktu itu pun ada yang terluka. Tapi untungnya di pinggir-pinggir pantai ada sebuah pohon -yang saya nggak tahu namanya- dimana getah dari buahnya bisa dipakai untuk mengobati luka. 

Kata si Mang yang menyewakan alat snorkling, getah dari buah tersebut memiliki kandungan antiseptik yang tinggi. Keren banget ya Tuhan menciptakan buah kayak gitu di tempat yang rentan bikin orang terluka karena terkena karang. Tapi sayangnya getah dari buah tersebut nggak bisa ngobatin luka hati. Eeeeaaaa...

Satu lagi yang mau saya sampaikan jika kalian mencoba snorkling di Pantai Pangandaran tepatnya di Pasir Putih, hati-hati saat melakukannya. Jangan sampai terpisah dari rombongan soalnya kadang bisa terbawa arus dan melawan ombaknya cukup susah. Belum lagi, banyak perahu yang berlalu lalang. 

Saya dan beberapa teman hanya sekitar 1 jam snorkling, setelahnya memilih untuk duduk-duduk santai di pinggir pantai. Yang lain memilih berlama-lama di air dan asyik berfoto dekat sebuah kapal karam yang katanya dikomando untuk ditenggelamkan sama Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pudjiastuti. Kalau kalian pengen lihat bukti kapal yang ditenggelamkan, coba saja datang ke Pantai Pasir Putih Pangandaran. Hebat nih Bu Susi. Saya ngefans!



Begitu sampai di penginapan, saya memilih untuk segera mandi. Sedangkan sebagian teman memilih untuk stay di Pantai dan mencoba banana boat. Dalam itinerary, kami akan pulang setelah makan siang dan ternyata bisa terlaksana. Di perjalanan pulang, hampir seluruh penumpang mobil memilih tidur. 



Anyway.. ada yang unik dari cara makan saya dan teman-teman sebelum balik ke Tasik. Jadi, kertas nasi yang biasanya dibagikan sebagai pengganti piring dibikin seperti piring besar memanjang sehingga kami makan bersama dalam satu tempat. Sebenarnya cara makan seperti itu tidak begitu aneh. Orang-orang yang tinggal di desa biasanya menggunakan daun pisang untuk tempat makan. Makan bersama seperti itu menjadi kultur yang memang sebaiknya tidak dilupakan.

Bersyukur dan berterimakasih sekali kepada Tuhan sudah diberi satu lagi momen seru dalam hidup di dunia. See you on the next exciting moment!

Saturday, December 24, 2016

Chaos Inside, Calm Outside

Salah satu character goal yang harus saya capai dalam waktu dekat adalah mampu menjaga kestabilan emosi. 

Sebenarnya keinginan tersebut berawal dari sebuah quote yang saya baca : Nobody makes you angry. You just respond them with anger. Artinya tidak ada orang yang membuatmu marah, hanya saja kamu yang merespon mereka dengan kemarahan. 

Whoop! Saya merasa tercubit dengan quote tersebut. Tidak jarang hal yang terjadi di luar sana membuat saya meresponnya dengan cara negatif seperti marah dan jadi bad mood. Selain karena quote yang tadi saya sampaikan, ada hal lain yang membuat saya ingin merubah kebiasaan jelek saya tersebut: melihat orang lain yang beraksi demikian.

Mungkin itu yang namanya refleksi. Saya melihat kelakukan buruk orang lain. Saya menilainya buruk karena memang membuat vibe jadi terasa negatif. Namun tanpa saya sadari, saya pun terkadang seperti itu. Makanya saya tergerak untuk tidak berlaku demikian lagi dan ingin berubah lebih baik serta positif dalam merespon segala hal. Minimal saya mampu meminimalisir reaksi negatif dalam merespon sesuatu karena pasti bergerak menuju positif perlu proses.



Tuesday, December 20, 2016

Happiness Maker

I am naturally a happy person. Inside my soul, happiness maker does exist. Someone or something that comes into my life is like an additional happiness which never affects at all once it is no more there.


Saturday, December 3, 2016

Perempuan, Kunci Kemajuan Bangsa

Saya mau cerita tentang pengalaman saya selama tinggal di Jerman. Khususnya dalam melihat cara didik host family saya terhadap anak-anaknya. Saya salut sekali dengan si Emak yang punya idealisme tingkat tinggi dalam memberikan pendidikan untuk anak-anak di dalam rumah. Berikut saya berikan point-point tentang kebiasaan keluarga yang bisa dicoba untuk diaplikasikan kepada anak Anda di rumah (kalau yang udah punya anak).

1.Pagi hari untuk anak yang sudah masuk SD wajib diajarkan untuk membereskan tempat tidur sendiri. Membereskan tempat tidur sendiri biasanya ketika anak beres dress up atau mandi dan sebelum sarapan. Tujuannya agar anak mulai belajar bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajibannya, tidak hanya diberikan haknya saja. Awalnya, si anak memang mengerjakannya dengan ogah-ogahan. Tapi lama-lama tanpa disuruh, dia jadi terbiasa untuk melakukan kewajibannya tersebut.

2.Kebiasaan sarapan tidak dengan makanan 'berat' seperti nasi dan lauk pauk tetapi dengan sereal, oat (weekday), dan roti (weekend). Saya pernah bertanya mengapa asupan sarapan mereka seperti itu. Mereka bilang hal tersebut memang sudah tradisi, untuk weekday makan sereal instan untuk menghemat waktu, biar anak-anak tidak telat berangkat sekolah, sedangkan weekend lebih santai jadi makan roti yang biasanya dipadukan dengan selai atau sosis. Makanan seperti pasta (salah satu makanan pokok mereka) dikonsumsi untuk makan siang atau makan malam. 

3.Ketika makan harus beretika. Dalam hal ini, si emak memegang peranan penting untuk mencetak anak-anaknya bisa makan cantik. Dia seringkali memberi peringatan dan membenarkan tata cara anak-anaknya makan, termasuk tentang cara memegang alat-alat makan seperti sendok, garpu, dan pisau ketika digunakan. Tidak hanya itu, sebelum makan siang, anak-anak harus cuci tangan dan menyisir rambut. Lalu berdoa bersama.

4.Beres makan, khususnya makan siang ketika mereka tidak punya acara terburu-buru, mereka harus terlibat membereskan beberapa hal di ruang makan. Minimal piring dan gelas yang mereka pakai sendiri. Ini yang saya suka. Betapa si Emak selalu memonitor sendiri apakah anak-anaknya 'kerja' atau tidak. Dia sangat penuh dedikasi dalam memastikan anak-anaknya punya peran setelah makan.

5.Misal ada salah satu anak yang marah dan melempar-lempar sendok sampai beberapa barang tercecer di lantai. Si Emak dengan tegas menyuruh si anak untuk membereskannya kembali. No excuse! Makanya anak-anak segan banget sama Emaknya.

6.Merangsang kreativitas anak dengan permainan kreatif. Aktivitas anak dibikin seimbang antara main di rumah dan di luar rumah. Di rumah, mereka biasanya main lego, main puzzle, dan beberapa permainan yang edukatif dan cukup menghibur. Di luar rumah lebih banyak yang dieksplorasi, misal melihat kuda, sapi, ayam, bermain air, bermain salju, dan lain-lain. 

7.Tidak sembarangan diberi gadget/ tontonan TV. Anak-anak sudah dididik dari kecil agar tidak dekat dengan gadget dan televisi. Kata Si Emak, gadget dan televisi membuat anak kurang kreatif dalam berimajinasi karena mereka kebanyakan disuruh mendapat input-input yang sudah disediakan gadget dan TV. Memang sih, saya menyadari kalau melihat anak-anak yang lagi nonton TV, mereka nyaris kayak patung, matanya nggak kedip-kedip, nggak gerak, kalau ditanya susah jawab. Mereka seperti telah terpisah dari dunia, jiwa mereka seperti sedang tidak di rumah. Anak-anak cuma dikasih tontonan TV jika Emak dan Babehnya lagi ada acara, itu pun paling lama tidak lebih dari 1 jam dimana saya yang biasanya jadi time keeper. Tontonannya pun ditentukan, yang edukatif dan biasanya harus yang bahasa Inggris biar si anaknya bisa belajar bahasa. 

8.Tidak banyak mengonsumsi makanan manis yang memanjakan lidah. Makanan seperti cake atau cokelat memang biasanya diberikan sebagai makanan penutup setelah makan, tapi tidak sering karena seringkali makanan penutup itu berupa yoghurt dan buah (keluarga ini memang sangat mengedepankan kesehatan). Cokelat biasanya menjadi hadiah pada momen tertentu untuk anak-anak yang taat akan aturan Si Emak. Kesehatan dan makanan bergizi harus diutamakan.

9.Anak-anak selalu diberi program. Misal sepulang sekolah, mereka memang diberi waktu istirahat sampai sore. Sore harinya mereka diberi kegiatan seperti berkuda, tennis, gymnastic, berenang, les musik, dsb (tergantung musim). Ini mungkin yang menjadi sebab si anak tidak begitu tergantung dengan gadget dan TV, mereka sudah diberi program harian. Termasuk untuk weekend. Setiap hari Jumat, Si Emak dan Si Babeh suka berdiskusi selepas makan siang mengenai apa yang akan dilakukan untuk hari Sabtu dan Minggu. Misalnya Sabtu akan main ke rumah salah satu temannya, Si Emak sudah menjadwalkannya sehari sebelum dengan menelepon orang tua dari temannya. Itu dilakukan untuk menghargai waktu orang lain. 

10.Anak-anak selalu tidur tepat waktu. Dalam hal ini, Si Emak memegang peranan penting lagi. Dia setiap malam membacakan buku untuk anak-anaknya. Setelah itu, lampu dimatikan lalu anak-anak dibimbing untuk berdoa. Yang saya dengar, doanya itu berupa nyanyian atau puji-pujian kepada Tuhan lalu berterimakasih dengan apa yang telah mereka peroleh hari itu. Ini sweet banget, saya suka. Setelah berterimakasih, mereka juga mendoakan orang-orang terdekatnya seperti Nenek, Kakek, Om, Tante, sampai saya pun tidak jarang masuk dalam daftar doa mereka. 

11.Tidak hanya etika dan karakter, si Emak juga merangsang anak-anak untuk kritis dan logis. Saya suka sekali dengan kebiasaan mereka menanyakan tentang aktivitas anak-anaknya di sekolah ketika makan siang. Momen makan siang itu jadi momen untuk mendekatkan antar anggota keluarga.

Itu beberapa poin yang bisa saya rangkum tentang cara didik keluarga saya di Jerman yang menurut saya patut dicontoh. Memang sangat gampang menuliskan ini, tapi praktiknya susah dan perlu komitmen tinggi serta karakter yang tidak pantang menyerah. Saya melihat menjadi seorang ibu itu adalah proses belajar mendidik anak yang mata pelajarannya tidak didapat di sekolah manapun. 

Tidak mudah. Tapi jika dijalankan dengan keinginan untuk bisa menciptakan generasi berkarakter, semuanya tidak akan sesulit yang dibayangkan. Penciptaan generasi berkarakter baik harus dilakukan saat ini juga. Jika tidak, karakter sebaliknya yang akan menjadi sifat yang turun temurun. Karakter tersebut yang membuat sebuah bangsa sulit maju, bahkan mengalami kemunduran. 

Saya merasakan bahwa perempuan dalam hal ini seorang ibu memiliki peran penting dalam menentukan karakter seorang anak. Karakter seseorang terutama anak memang tidak hanya dipengaruhi oleh didikan keluarga, tetapi juga lingkungan sekitarnya seperti sekolah. 

Namun, jika pendidikan di rumah khususnya oleh seorang ibu sudah ideal dalam mengangkat nilai-nilai kebaikan, anak sudah bisa dipastikan memiliki fondasi kuat dalam mengembangkan karakter baiknya.

Itulah mengapa saya mengambil judul 'Perempuan, Kunci Kemajuan Bangsa', karena di tangan ibunya, karakter dasar setiap orang dibentuk. Perempuan memiliki fitrah sebagai pendidik pertama untuk anak. Perempuan adalah pendidik bangsa. 

Thursday, December 1, 2016

Mindset dan Masa Depan

Kemarin-kemarin saya berdiskusi dengan salah satu teman tentang makna ibadah. Pembahasan itu berawal dari pertanyaan kritis yang sudah cukup lama saya pendam, tentang apa manfaat ibadah? Mengapa saya sudah shalat dan melakukan ibadah tambahan lain, tetapi terkadang ada saja hal yang bikin saya nggak bahagia?

Saya juga suka bertanya tentang kaitan antara nasib, takdir, dan ibadah seseorang. Apakah yang rajin ibadah sudah tentu takdirnya akan lebih baik dari orang yang tidak lebih rajin beribadah? Pertanyaan itu saya sadari tidak bisa dijawab hanya dengan ya dan tidak. Karena makna ibadah itu luas. Kata 'lebih baik' pun bermakna persepsi. 

Jadi sebenarnya, buat apa kita beribadah? Dalam pencarian makna yang saya temukan sendiri lewat kontemplasi dan input dari orang-orang sekitar, pemahaman saya tentang ibadah baik itu secara vertikal maupun horizontal adalah sebagai cara untuk berterimakasih karena saya sudah diberi banyak hal tanpa saya minta. Ibadah vertikal saya kerucutkan sebagai cara bahwa saya orang yang tahu diri, saya tahu posisi saya sebagai hamba. Saya beribadah sebagai usaha saya dalam menyeimbangkan konsep take and give. 

Tapi pernah ada momen dimana saya beribadah sebagaimana biasanya, tapi tiba-tiba dihadapkan dengan hal yang membuat saya terpuruk. Mengapa saya bisa seterpuruk itu? Mengapa saya sangat tidak bahagia dengan apa yang menimpa saya? Apakah usaha saya dalam beribadah itu tidak 'bekerja' untuk kehidupan saya? Atau apakah itu yang namanya takdir yang harus diterima? Tapi kok nggak enak banget...

Tibalah pembahasan dari teman saya yang saya anggap itu membukakan kunci jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya.

Dia bilang, intinya, ini adalah masalah mindset. Sesederhana itu, tapi proses untuk mendapatkan mindset yang tepat dalam memandang sesuatu itu yang butuh proses panjang. Dari sana kita tidak heran ada quotes yang bilang bahwa carilah ilmu sampai liang lahat. Sedangkan ilmu salah satunya adalah untuk merubah mindset dan cara berpikir seseorang. Dengan ilmu, mindset kita terus di-upgrade.

Dia bilang, mindset ini tentang penetapan tujuan hidup, tentang merancang masa depan yang benar-benar masa depan. Bukan 10 atau 20 tahun ke depan, tetapi masa depan setelah kita mati. Kita bisa melihat betapa tenangnya orang-orang yang mengerti dan benar-benar paham tentang masa depan. Harta, tahta, prestasi, dan apapun yang ada di dunia adalah perhiasan dunia, titipan yang sangat sebentar. Mereka tidak akan khawatir dan tidak akan berat hati saat kehilangan titipan-titipan itu. 

Orang yang memikirkan masa depan akan fokus terhadap apa yang akan mereka bawa ketika dia menemui Tuhan. Mereka tidak akan khawatir dengan nasibnya di dunia, apakah akan kaya, miskin, akan menemui tangis atau tawa. Karena mereka paham bahwa dalam keadaan apapun semua memiliki kesempatan yang sama untuk mencari bekal masa depan. 

Saya jadi teringat quotes tokoh Sunda, Mang Ibing yang bilang, "Tong ngeluh keur ripuh, tong ngaraja keur bagja." artinya kurang lebih, "Jangan mengeluh ketika sedang susah, jangan sombong ketika sedang lapang."

Dalam keadaan apapun, ketika seseorang berpikir hanya mencari ridho Tuhannya, maka dia akan menerima dengan alasan semoga Tuhan ridho dengan rasa penerimaannya tersebut.

Begitupun dalam melakukan sesuatu di dunia ini, nikah contohnya (ehm!), tujuannya memang harus dikaitkan dengan masa depan. Masa depan yang benar-benar masa depan. Jika nikah tujuannya kaya, terus setelah menikah ternyata nggak kaya-kaya, biasanya yang kayak gitu akan berakhir dengan keluhan. Begitu juga yang tujuannya ingin punya anak, setelah nikah ternyata susah punya anak, keluhan biasanya akan terlontar secara sadar atau nggak sadar. Begitu pun kalau tujuan menikah adalah untuk mendapatkan kesenangan, dalam suatu momen saja merasa tidak senang, makin samarlah tujuan pernikahannya. Bukan tidak mungkin karena tujuan awal menikah pengen dapat kesenangan, terus setelah pernikahan dijalani ternyata banyak hal yang bikin nggak senang, perpisahan jadi jalan.. Semoga pembaca terhindar dari hal tersebut.

Sejauh ini, saya menyimpulkan bahwa tujuan kita untuk melakukan sesuatu agar mendapat ridho Tuhan adalah benar. Caranya kita harus 'menyimpan' Tuhan di hati kita di atas segalanya. Karena dengan demikian, apapun yang terjadi di tengah jalan, kehilangan apapun, tidak akan memberatkan, tidak akan membuat sedih berlarut-larut, apalagi sampai stres. Jika kita patah hati dan sedih karena sesuatu, itu adalah teguran lembut dari Tuhan untuk mengingatkan jangan sampai ada hal lain di hati kita yang mendominasi, selain rasa cinta kepada Tuhan. Memang saya akui, melibatkan Tuhan dalam keseharian bisa menentramkan.  

Kesimpulan dari percakapan saya dan teman waktu itu berupa upaya untuk saling mengingatkan bahwa kita sebaiknya fokus untuk mendapatkan masa depan terbaik. Hal yang terjadi yang tidak sesuai dengan keinginan, semoga membuat kami menerima dan ikhlas. Hal yang terjadi yang sesuai keinginan semoga membuat kami lebih banyak bersyukur dan tidak membanggakan diri.

Untuk yang memiliki keinginan yang baik, jangan pernah takut segera melaksanakannya. Tuhan akan mengurus kita 100 persen.