Sunday, July 23, 2017

The Lost Traveler

Sudah lama sekali pengen nulis ini.. 

Sosial media. Instagram, facebook, path, dan segala macamnya merupakan aplikasi smartphone yang bagi sebagian besar orang pasti dibuka tiap hari, bahkan tiap jam atau tiap menit. Kita bisa melihat apa yang terjadi di dunia luar, apa yang sedang dilakukan teman, apa yang baru dibeli gebetan, sampai wajah terkini dari mantan.

Terlepas dari berbagai informasi at glance yang kita dapat dari sana, ada satu yang seharusnya disadari namun ternyata sebagian besar tidak mau mengakui : almost everything you see in social media is controlled. 

Artinya, apa yang kamu lihat di media sosial seseorang tidak bisa digeneralisasi sebagai hidupnya. Ada banyak hal yang tidak kita tahu yang tidak dia publikasikan. Karena sosial media umumnya menjadi ajang untuk membagikan hal-hal yang membahagiakan bagi sang pemilik akun.

Foto pencapaian, foto jalan-jalan, foto makan-makan, foto bersama pasangan, dan masih banyak lagi momen membahagiakan lainnya. Bagi yang melihat dan belum pernah merasakan pengalaman-pengalaman tersebut, momen yang dibagikan orang lain dapat berpotensi menjadi sumber yang membuat iri (terutama bagi mereka yang kurang mampu memunculkan pemikiran positifnya). 

Iri adalah sebuah emosi dimana seseorang tidak senang dengan takdir orang lain atau bahkan dirinya menjadi berharap mengalami takdir tersebut dan mengingkari takdirnya sendiri (mengapa aku begini? mengapa aku tidak begitu?). Dari sebuah artikel yang saya baca, jika ada pertanyaan itu di dalam diri, bisa terdeteksi orang tersebut mengalami rasa iri karena sering membandingkan diri dengan orang lain.

Iri adalah perasaan wajar. Orang yang tidak bisa mengontrol dirinya, iri bisa berubah menjadi hasad dimana ia menunjukkan perasaannya lewat perkataan dan perbuatan. Orang yang mampu menahan diri mungkin tidak akan lama dihinggapi rasa iri sehingga dia bisa kembali fokus ke kehidupannya sendiri dan menjadi pribadi yang penuh rasa syukur dengan apa yang sudah ditakdirkannya.


Pergolakan emosi tersebut mungkin banyak terjadi pada orang-orang yang akrab dengan sosial media dan sering melihat hidup orang lain. Mereka melihat si A sedang jalan-jalan di Eropa, si B baru saja dilamar, si C baru saja menggelar pesta pernikahan yang meriah, si D lagi bulan madu ke Maldives, si E baru hamil dan baru upload foto maternity, dan masih banyak lagi hal yang bisa kita lihat di sosial media. Sementara dirinya sendiri yang ada di posisi 'orang yang melihat' sedang dalam posisi terpuruk baru patah hati atau sedang kesulitan ekonomi dimana cerita-cerita si A sampai si E masih berupa mimpi.


Dalam menyikapi hal ini, saya ingin memberikan sedikit pendapat karena sepertinya banyak orang galau yang menurut analisa saya, hal tersebut merupakan efek dari terlalu banyak melihat orang lain di media sosial. 

Saya pernah merasakan ada di dua posisi tersebut. Maka dari itu, saya ingin mencoba mem-figure out tentang bagaimana cara menyikapinya. 


Saya pernah ada di posisi dimana ada beberapa orang secara terang-terangan mengaku 'envy' dengan pengalaman saya selama satu tahun di Jerman. Mereka melihat saya tampak bahagia dan beruntung bisa menjelajahi berbagai negara di Eropa. Namun ada satu hal memang yang tidak saya ceritakan bahwa banyak sekali perjuangan, doa, dan airmata dibalik berbagai pencapaian yang membuat mereka 'iri'.

Tinggal di Jerman adalah salah satu cita-cita besar saya ketika saya masih duduk di bangku SMA. Saya mencoba mencapainya dengan berbagai cara. Sampai akhirnya ada kesempatan untuk mewujudkan mimpi tersebut menjadi nyata. 

Saat itu saya merancang strategi bagaimana saya bisa menjalankan berbagai macam prosedurnya yang meski tampak rumit tapi sudah jelas, saya hanya tinggal melakukannya dengan tekun. Saya masih ingat, banyak sekali yang saya korbankan saat menjalankan prosedur menuju ke Jerman. Materi, tenaga, waktu, dan lain-lain.

Bagi ukuran saya waktu itu, mengeluarkan materi sekian banyak untuk berbagai urusan agar bisa sampai ke Jerman memang cukup memberatkan. Waktu itu saya masih bekerja sebagai wartawan. Saya les bahasa jerman setiap hari senin dari setelah dzuhur sampai magrib (sekitar 5-6 jam). Untuk mencapai hari Senin bisa pulang cepat (agar bisa mulai les tepat waktu), hari Minggu saya bekerja ekstra dengan mengerjakan kerjaan untuk hari Senin. Belum lagi jika cuaca tidak bersahabat. Pulang les saya hujan-hujanan. Terlebih jarak antara rumah guru les dan rumah saya cukup jauh dan memakan waktu sekitar 30-40 menit. saya waktu itu naik motor.

Momen saat menjalani kehidupan di Jerman juga sebenarnya tidak selalu menyenangkan. Mengalami shock culture, kesalahpahaman, dan kangen keluarga juga jadi hal yang sempat membuat saya menderita. Hanya saja, saya tidak suka mengeluhkannya di media sosial sehingga yang tampak saat itu adalah serpihan-serpihan hidup saya yang tampak selalu bahagia dengan berbagai pengalaman baru dan menarik.


Dibalik foto-foto saya yang tampak menggembirakan dan sering jalan-jalan, memang banyak sekali cerita tentang berbagai kepahitan yang memang saya sembunyikan. Tapi kali ini saya benar-benar ingin bercerita tentang itu... bahwa berbagai macam pencapaian yang saya dapatkan diawali oleh hal-hal yang penuh perjuangan dimana medan juang itu sama sekali tidak membuat saya nyaman.

Tidak jarang saya juga mengeluh, tapi seringkali tidak saya utarakan. Saya menyimpannya sendiri saja, sebagai pembelajaran bahwa tidak ada hal yang instan. Jarang ada keberuntungan yang terjadi begitu saja tanpa adanya perjuangan. 

Saya tergerak untuk menuliskan ini sebagai upaya agar orang-orang yang hanya melihat hasil menjadi lebih tahu bahwa ada proses tidak gampang yang pernah saya jalani dibalik kehidupan yang tampak gampang. Saya menuliskan ini agar 'keberuntungan-keberuntungan' yang orang lain lihat lewat foto saya di media sosial tidak mengiritasi mereka yang sedang berlelah-lelah dalam perjuangan. Karena saya pun pernah merasakan kepahitan serupa.

Pemikiran seperti ini pun saya terapkan ketika saya ada di posisi orang yang melihat. Saya mencoba untuk lebih fokus pada urusan dan hidup saya sendiri. Melihat orang yang mempertontonkan kebahagiaannya di sosial media, saya ikut bahagia. Begitupun sebaliknya. Saya berupaya untuk menghempaskan rasa iri yang berpotensi menggerogoti kemampuan saya dalam bersyukur.


Setiap orang memiliki jalan hidup, keberuntungan, dan air matanya masing-masing. Poin dalam tulisan ini adalah ajakan untuk lebih fokus terhadap hidup masing-masing, jalani hidup dengan sebaik-baiknya, dan jika sejauh ini belum bisa mengontrol diri untuk tidak 'iri' terhadap hidup orang lain, kurangi membuka media sosial. 

Termasuk kamu yang terang-terangan iri terhadap hidupku. Fokus dan urus saja hidupmu sendiri ya! Jangan ngurusin saya karena saya sudah kurus ^^

Wassalam.

1 comment:

  1. I do not quite understand it, but I see you've been thinking a lot. And you are right. Respect!
    (I think I need not mention separately that you look excellent in the photos again. Unique! Especially with these sunglasses.)
    God bless you!

    ReplyDelete